Kamis, 12 November 2009

Bahaya Cinta Kekuasaan

Bahaya Cinta Kekuasaan
Kamis, 12 Nopember 2009

Hubbur riyasah (cinta kekuasaan) adalah salah satu syahwat yang sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini, kekuasaan, jabatan dan segala yang mengiringinya berupa popularitas dan ketenaran merupakan tujuan hidupnya. Berkenaan dengan bahaya cinta kekuasaan ini Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan oleh Ka'ab bib Malik Radhiallaahu anhu ,
"Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor domba tidak lebih parah kerusakannya bagi domba itu, bila dibandingkan ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam merusak agamanya." (dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan mengatakan, "hadits hasan shahih")

Al-Hafidz Ibnu Rajab tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, "Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberitahukan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan akan merusak agamanya, dan kerusakan itu tidak lebih kecil daripada kerusakan akibat keberingasan dua serigala terhadap seekor domba. Bisa jadi sepadan atau mungkin lebih besar. Ini mengisyarat kan bahwa tidak akan selamat agama seseorang jika dia tamak terhadap harta dan kedudukan dunia, kecuali sangat sedikit (yang bisa selamat darinya). Sebagaimana pula halnya seekor domba tidak akan selamat dari keberingasan dua ekor serigala yang sedang lapar, kecuali sangat sedikit sekali.

Perumpamaan yang agung ini mengandung peringatan yang keras tentang keburukan sikap rakus terhadap harta dan kedudukan dunia, hingga beliau mengatakan, "Adapun tamaknya seseorang terhadap kedudukan maka itu lebih membinasa kan daripada ketamakannya terhadap harta. Karena ambisi mencari kedudukan, kekuasaan dan kemuliaan dunia untuk mengungguli (merasa tinggi) di atas sekalian manusia lebih berbahaya bagi seseorang daripada ambisi terhadap harta. Menahan diri dari hal tersebut sangatlah lebih sulit, karena untuk mencari kedudukan dan kekuasaan biasanya seseorang rela mengorbankan harta yang amat banyak." (Syarah hadits, ma dzi'baani jaai'aani hal 7,13 secara ringkas)

Al Imam Ibnu Rajab kemudian menyebutkan metode setiap orang dalam meraih kedudukan dunia. Beliau mengatakan," Tamak terhadap kemuliaan dunia ada dua macam;

Pertama, mencari kemuliaan dunia dengan kekuasaan, sulthan (power), dan harta. Ini semua sangat berbahaya karena pada umumnya akan menghalangi pelakunya untuk mendapatkan kebaikan dan kemuliaan di akhirat. Allah ƒ¹ berfirman, artinya,
¡§Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.¡¨ (QS. 28:83)

Hingga beliau mengatakan, "Di antara bentuk cinta kedudukan dunia yang jelas bahayanya adalah berupa tamak terhadap pemerintahan (yakni tamak ingin menjadi penguasa, red). Ini merupakan masalah yang sangat pelik yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang berilmu, mengenal Allah Subhannahu wa Ta'ala dan mencintai-Nya. Perlu diketahuai bahwa cinta kemuliaan dengan cara tamak terhadap kekuasaan agar dapat memerintah dan melarang serta mengatur urusan manusia (menurut kehedaknya), jika hanya dimaksudkan semata-mata untuk tujuan memperoleh kedudukan yang tinggi di atas sekalian orang, merasa lebih besar daripada mereka dan agar orang terlihat membutuhkan dirinya, selalu merendah kepadanya serta menghinakan diri ketika ada hajat dan kebutuhan terhadapnya, maka bentuk seperti ini telah mengusik rububiyah dan uluhiyah Allah .

Ke dua; Mencari kemuliaan dunia dan kedudukan dengan hal-hal yang terkait dengan agama, seperti ilmu, amal ibadah dan kezuhudan. Ini lebih buruk dari yang pertama serta lebih besar bahaya dan kerusakannya. Karena ilmu, amal dan semisalnya hanyalah untuk mencari derajat yang tinggi dan kenikmatan abadi di sisi Allah ƒ¹, juga untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada-Nya. (Syarh hadits ma dzi'baani jaai'aani, hal 7, 13 secara ringkas)

Di antara yang menambah besar bahaya ini adalah bahwasanya manusia memiliki kecenderungan dan cinta yang besar terhadap kekuasaan dan popularitas. Sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Sesungguhnya manusia jika merenungkan dan mengenali dirinya dan manusia yang lain, maka seseorang akan melihat bahwa dirinya selalu ingin ditaati dan ingin berada di atas sedapat mungkin. Dan jiwa itu dipenuhi dengan rasa cinta terhadap kedudukan yang tinggi dan kekuasaan setinggi-tingginya. Maka anda dapati dia akan memberikan loyalitas kepada orang yang cocok dengan hawa nafsunya, dan memusuhi orang yang menyelisihi hawa nafsunya. Maka akhirnya dia menjadi hamba hawa dan keinginannya."

Hingga pada ucapan beliau, "Dan kalau dia ditaati, maka dia ingin segala yang menjadi keinginannya terus ditaati, meskipun berupa dosa dan kemaksiatan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Sehingga orang yang taat kepadanya lebih dia cintai dan lebih mulia baginya daripada orang yang taat kepada Allah dan menyelisihi keinginannya. Ini merupakan bagian dari keadaan Fir'aun dan seluruh orang yang mendustakan rasul-rasul.¡¨ (majmu' al-Fatawa 8/18, secara ringkas)

Sesungguhnya gila kekuasaan tidak akan terlepas dari berbagai kerusakan dan bermacam-macam keburukan. Sebagiannya disampaikan oleh al-Imam Ibnu Rajab, beliau berkata, "Ketahuilah bahwa tamak terhadap kedudukan akan menyebabkan kerusakan yang besar, sebelum orang tersebut meraihnya, ketika orang tersebut sedang berusaha meraihnya dan lebih-lebih setelah berhasil mendapatkannya dengan penuh ambisi, yakni dapat menjerumuskannya ke dalam kezhaliman, takabbur dan kerusakan-kerusakan yang lain.¡¨ (syarh hadits ma dzi'baani jaai'aani)

Dan dalam kesempatan yang lain beliau berkata, "Sesungguhnya cinta harta dan kedudukan, serta tamak terhadapnya akan merusak agama seseorang sehingga agama itu tidak tersisa kecuali apa yang dikehendaki Allah Subhannahu wa Ta'ala. Hawa nafsu itu senang kepada kedudukan yang tinggi di atas manusia lainnya, dan dari sinilah tumbuh kesombongan dan kedengkian." (ibid, hal 29)

Telah jelas bagi kita bahaya dan tercelanya cinta kekuasaan serta penjelasan kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Namun ada hal lain berkaitan dengan masalah kekuasaan ini, bahwa ada perbedaan antara cinta kekuasaan dan menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk da'wah kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala Tujuan seseorang dalam memegang kekuasan di sini adalah untuk mengangungkan Allah dan ajaran-ajaran Nya, sedangkan tujuan orang yang cinta kekuasaan adalah agar orang lain mengagungkan dan menyanjung dirinya. Pemimpin pemimpin yang adil dan hakim hakim yang lurus tidak akan mengajak orang lain untuk mengagungkan diri mereka sama sekali, namun mereka mengajak manusia agar selalu mengagungkan Allah semata dan mengesakan-Nya dalam beribadah. Dan di antara mereka ada yang tidak menginginkan jabatan kecuali hanya sekedar sebagai sarana untuk dakwah di jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Maka orang yang memohon kepada Allah agar menjadikan dirinya sebagai imam yang selalu dijadikan contoh oleh orang-orang yang bertakwa, sebagaimana dia juga mencontoh orang-orang yang bertakwa, maka hal ini tidak apa-apa. Bahkan layak untuk dipuji karena dia telah menjadi penyeru ke jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala, senang jika Allah Subhannahu wa Ta'ala diibadahi dan ditaati. Maka dia menyintai apa saja yang dapat menolong dan mengantarkan pada tujuan tersebut.

Merupakan kewajiban para ahli ilmu dan penunutut ilmu untuk menjauhi dan berhati-hati dari syahwat jabatan, kekuasaan dan popularitas, karena ia merupakan penyakit yang membahayakan. Selayaknya orang yang terjangkit penyakit ini segera berobat dengan cara bertaubat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, melakukan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dan muhasabah (introspeksi) terhadap dirinya.

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, "Riyasah (kekuasaan) lebih disukai oleh para Qurra' (ahli ilmu) daripada emas merah." (kitab al Wara', Imam Ahmad bin Hanbal, hal 91)

Abul Farraj Ibnul Jauzi juga telah memberikan nasehatnya, "Wahai saudaraku hendaklah kalian selalu perhatian terhadap lurusnya niat, tinggalkan berhias (berbuat kebaikan) karena ingin disanjung orang, jadikan tiang penyanggamu adalah istiqamah bersama yang haq. Dengan itu para salaf menjadi tinggi dan berbahagia." (Shaidul Khathir hal 227, periksa juga akhlaqul 'ulama' oleh al-Ajuri hal 157).

Diringkas dari buku ¡¥Ubudiyatusy Syahwat hal 54-62, Dr.Abdul Aziz bin Muhammad Ali al-Abdul Lathif. (Abu Ahmad

Rabu, 11 November 2009

Merenungkan Isi Al-Qur'an

Merenungkan makna al-Qur'an pada prinsipnya adalah dengan cara mentadabburi dan memikirkannya. Seorang yang bagus bacaannya adalah apabila hatinya telah melunak dengan kalam Rabbnya, konsentrasi dalam mendengarkan dan menghadirkan segenap hati terhadap makna-makna sifat dari Dzat yang berbicara kepadanya, memperhatikan kekuasaan Nya, meninggalkan ketergantungan terhadap pengetahuan dan akalnya, melepas segala rasa keberdayaan dan kekuatan diri, mengagungkan Dzat yang berfirman kepadanya, merasa hina dengan kemampuan pemahaman nya. Dengan kondisi yang istiqamah dan hati yang bersih, dengan kekuatan ilmu, kesungguhan pendengaran untuk memahami firman-Nya, seakan-akan menyaksikan jawaban yang Ghaib. Juga dengan doa orang yang merendah diri, merasa banyak kekurangan dan merasa miskin, serta dengan menanti pertolongan dari Dzat yang Maha Menolong dan Maha Tahu, dan dengan memohon pertolongan kepada-Nya agar bacaannya membawa dirinya kepada pemahaman makna. Dia menghadirkan sifat dari Dzat yang berbicara , berupa janji-Nya dengan penuh kerinduan, ancaman-Nya dengan perasaan takut dan peringatan-Nya dengan kesungguhan.

Allah subhanahu wata¡¦alaberfirman,
¡§Orang-orang yang telah kami beri al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.¡§ (QS.al-Baqarah:121)

Dan orang inilah yang merupakan rasikh fil ilm atau mendalam ilmunya, semoga Allah subhanahu wata¡¦ala menjadikan kita termasuk golongan orang seperti ini. Allah subhanahu wata¡¦ala berfirman, artinya,
¡§Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).¡¨ (QS. al-Ahzab: 4). (Al-Burhan, Az-Zarkasyi 2/197)

Selayaknya bagi orang yang membaca al-Qur'an untuk meresapi setiap ayat sesuai dengan konteksnya, serta berusaha memahaminya. Jika dia membaca ayat,artinya, ¡§Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi.¡¨ (QS.al:An'am:1). Maka hendaknya dia menyadari betapa agungnya Allah subhanahu wata¡¦ala, dan terlintas di benaknya kekuasaan Allah subhanahu wata¡¦alaƒndan segala apa yang Dia kehendaki. Kemudian jika membaca ayat, artinya,
¡§Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan.¡¨ (QS. 56:58)

Maka hendaknya berfikir bagaimana nuthfah (air mani) dapat berubah menjadi bagian-bagian daging dan tulang. Dan jika membaca ayat tentang keadaan orang-orang yang diadzab hendaknya merasakan takut tertimpa, jika lalai dari mengerjakan perintah-perintah Allah.

Dan selayaknya seseorang yang membaca al-Qur'an mengetahui bahwa dirinya adalah yang sedang menjadi obyek sasaran dari pembicaraan al-Qur'an itu, dan dirinyalah yang mendapat ancaman. Dan kisah-kisah yang ada bukan sekedar membawakan cerita belaka, namun ia memberikan pelajaran. Maka ketika itu dia membaca al-Qur'an seperti membaca nya seorang budak, dan dirinya sedang menjadi sasaran dari tulisan tuannya. Maka hendaklah dia merenungkan al-Kitab dan mengamal kan apa yang menjadi tuntutannya. (MukhtasharMinhaj al-Qasidin, halaman 68)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, "Merupakan kewajiban bagi siapa saja -yang dikhususkan oleh Allahƒndengan menghafal al-Qur'an- agar membaca dengan bacaan yang sebenarnya (haqqa tilawatih), mentadabburi dengan hakikat ibrah dan pelajarannya, memahami segela keistimewaannya dan mencari tahu apa yang asing baginya." (al-Jami' liahkam al-Qur'an 1/ 2)

Al-Hakim at-Tirmidzi rahimahullah berkata tentang kemuliaan al-Qur'an, "Hendaknya dibaca dengan tenang, pelan-pelan dan tartil, dan merupakan kemuliaan al-Qur'an hendaknya (dalam membaca) dengan mencurahkan ingatan dan segenap pemahaman sehingga dapat mencerna apa yang difirmankan itu. Termasuk memulia kan al-Qur'an juga hendaknya berhenti pada ayat-ayat janji (wa¡¦d) dan berharap kepada Allah subhanahu wata¡¦ala serta memohon keutamaan dari-Nya, berhenti pada ayat ancaman (wa'id) dan memohon perlindungan kepada Allah darinya." (al-Jami' liahkam al-Qur'an 1/27, dan dinisbatkan ke kitab Nawadir al-Ushul)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Apabila membaca al-Qur'an dengan tafakkur sehingga tatkala melewati ayat yang dia (pembaca) butuh terhadap ayat itu untuk mengobati hatinya, maka hendaknya dia mengulang-ulang ayat itu meskipun seratus kali, bahkan meskipun semalam suntuk. Karena membaca satu ayat dengan tafakkur dan pemahaman, lebih baik daripada menghatamkan bacaan dengan tanpa tadabbur dan pemahaman. Dan juga lebih bermanfaat bagi hati, lebih dapat menghantarkan kepada tercapainya kesempurnaan iman serta rasa manisnya al-Qur'an.¡¨ (Miftah Dar as-Sa'adah, hal 402)

Ibnu Muflih rahimahullah berkata, "Berkata al-Qadhi, "Kriteria minimal tartil adalah dengan meninggalkan ketergesaan dalam membaca al-Qur¡¦an, dan yang sempurna adalah tartil di dalam membaca, merenungi ayat-ayat itu, memahaminya, serta mengambil pelajaran darinya meskipun sedikit di dalam membaca, dan ini lebih baik daripada terus membaca dengan tanpa pemahaman sama sekali.¡¨

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, "Seseorang yang membaca al-Qur'an hendaknya memperbagus suaranya dan membacanya dengan rasa takut dan dengan tadabbur, dan ini merupakan makna dari sabda Nabi, "Tidak pernah Allah menyeru dengan sesuatu seperti menyerunya kepada Nabi agar membaguskan suara dan memperindah dalam membaca al-Qur'an dengan mengeraskannya." (HR. al-Bukhari no.5024, Muslim no. 297,233, an- Nasai, 2/180, Abu Dawud no.1473 dari hadits Abu Hurairah). (al-Adab asy- Syar'iyyah).

Imam as-Suyuthim rahimahullah menyifati wukuf (merenungi) makna-makna al-Qur'an dengan perkataannya, "Hendaknya hati sibuk memikirkan makna-makna ayat yang dilafazhkan, sehingga mengetahui masing masing ayat, lalu merenungkan perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta berkeyakinan untuk menerima itu semua. Jika pada masa lalu ia termasuk orang yang tidak perhatian terhadap masalah itu, maka dia meminta ampun dan beristighfar, jika melewati ayat rahmat maka dia gembira dan memohonnya, atau melewati ayat adzab maka merasa takut dan meminta perlidungan, atau melewati ayat tentang penyucian atau tasbih kepada Allah subhanahu wata¡¦ala,ƒnmaka hendak nya menyucikan dan mengagungkan-Nya, atau melewati ayat yang berisikan doa, hendaknya merendah diri dan memintanya. (al-Itqan fi Ulum al-Qur'an 1/ 140)

Berkata al-¡¦Allamah as-Sa'di rahimahullah, "Dan selayaknya dalam masalah itu (membaca al-Qur'an) hendaknya menjadikan makna sebagai tujuan, sedangkan lafazh adalah sebagai sarana untuk memahami makna, maka hendaknya melihat kepada siyaqul kalam (arah pembicaraan) serta kepada siapa pembicaraan itu ditujukan, lalu mempertemukan antara yang dia baca itu dengan pendapatnya dalam tempat (ayat) yang lainnya. Dan hedaknya dia mengetahui bahwa al-Qur'an ditujukan untuk memberi petunjuk kepada manusia baik yang 'alim maupun yang bodoh, yang ada di kota maupun yang ada di pelosok. Barang siapa yang mendapatkan taufik untuk itu maka tidak ada yang tersisa pada dirinya kecuali akan memberikan perhatian untuk mentadabburi dan memahaminya, akan banyak memikirkan lafazh dan maknanya, kewajiban-kewajiban dan kandungan nya, serta petunjuknya baik yang diucapkan atau yang difahami. Jika seorang memang telah mencurahkan seluruh perhatian dalam masalah ini maka Allah subhanahu wata¡¦ala akan memuliakan sebagian di antara hamba-Nya, dan Allahƒnsubhanahu wata¡¦ala tentu akan membukakan ilmu-Nya berupa hal-hal yang tadinya tidak mampu dia usahakan. (Taisir al-Karim ar-Rahman, 12)

Oleh karena itu selayaknya keinginan atau motivasi terbesar orang shalih, baik di bulan Ramadhan atau selainnya, adalah berapa banyak al-Qur'an memberikan pengaruh dalam sikap? Bukan sekedar berapa banyak menghatamkan al-Qur'an.

Sumber: kitab, ¡¨Tadabbur al-Qur¡¦an¡¨ karya Salman bin Umar al-Sunaidy